Bila diajak untuk berbagi, apa yang ada di pikiran anda? Mungkin berbagi dana, berbagi pakaian layak pakai, sembako dan susu atau berbagi makanan. Ya, semua jawaban biasanya dalam bentuk materi.
Itu mungkin karena dikepala kita telah tertancap ide–ide materialistik yang sudah menglobal : mengukur segala sesuatunya dari material dan kasat mata.
Pengalaman nyata dari ayah angkat saya mungkin bisa menjadi pelajaran bahwa berbagi tidaklah mesti berbentuk materi.
Setiap tahun ayah angkat saya punya kebiasaan berkeliling ke berbagai panti asuhan dan rumah anak yatim, kunjungan biasanya dilakukan di dua kali, yaitu awal Ramadhan dan akhir Ramadhan. Kunjungan pertama adalah survei untuk mengetahui kebutuhan panti asuhan atau rumah yatim.
Kunjungan ke dua membawa bantuan sesuai dengan kebutuhan Yang diperlukan.
Ketika berkunjung kesalah satu rumah yatim, ayah angkat temen saya bertemu dengan seorang bocah manis dan lucu, Dia masih sekolah kelas nol besar.
"Siapa namamu, nak?" sapa ayah
"Nama saya Alisha, Om ," jawabnya manja.
"Alisha sudah punya sepatu baru?" tanya ayah
"Sudah Om, dikasih Abah (peminpin panti). Alisha juga sudah punya baju baru," urai Alisha.
"Kalau begitu Alisha mau apa?" tanya ayah
"Nggak ah …… ntar Om marah," jawab Alisha.
"Nggak sayang, Om nggak akan marah", ayah menimpali.
"Nggak ah …… ntar Om marah," Alisha mengulangi jawabannya.
Ayah berpikir, pasti yang diminta Alisha adalah sesuatu yang mahal. Rasa keingintahuan ayah semakin menjadi. Maka dia dekati lagi Alisha.
"Ayo, nak, katakan apayang kamu minta sayang," pinta ayah
"Tapi janji, ya, Om tidak marah", jawab Alisha manja.
"Om janji tidak akan marah sayang," tegas ayah
"Bener Om nggak akan marah?"sahut Alisha agak ragu.
Ayah menganggukkan kepala. Alisha menatap tajam wajah ayah Sementara ayah berpikir, `Seberapa mahal sih yang bocah kecil ini minta sampai dia harus meyakinkan bahwa saya tidak akan marah?'
Sambil tersenyum ayah saya mengatakan, "Ayo, nak, katakan, jangan takut, om tidak akan marah Nak."
"Bener ya Om nggak akan marah?" ujar Alisha sambil terus menatap wajah ayah saya.
Sekali lagi ayah saya menganggukkan kepala. Dengan wajah berharap- harap cemas, Alisha mengajukan permintaannya,
"Mmmmm, boleh nggak mulai malam ini saya memanggil Om dengan panggilan Ayah? Alisha sedih nggak punya ayah"
Mendengar jawaban itu, Ayah saya tak kuasa membendung air matanya.
Segera dia peluk Alisha. "Tentu, anakku …… tentu anakku ….. mulai hari ini Alisha boleh memanggil Ayah, bukan Om".
Sambil memeluk erat ayah saya, dengan terisak Alisha berkata, "Terimakasih ayah … terimakasih ayah."
Hari itu adalah hari yang tak akan terlupakan buat ayah saya. Dia habiskan waktu beberapa saat untuk bermain dan bercengkrama dengan Alisha.
Karena merasa belum memberikan sesuatu berbentuk material kepada Alisha, sebelum pulang Ayah bertanya lagi pada Alisha,
"Anakku sebelum lebaran nanti ayah akan datang lagi kemari bersama ibu dana kakak- kakakmu. Apa yang kamu minta nak?"
"Kan udah tadi, Alisha sudah boleh memanggil ayah," jawab Alisha.
"Alisha masih boleh minta lagi sama ayah. Alisha boleh minta sepeda, Otoped atau yang lain, pasti akan ayah kasih." Jelas Ayah saya.
"Nanti kalau ayah datang sama ibu kesini, aku minta ayah bawa foto bareng yang ada ayah, ibu dana kakak-kakak Alisha. Boleh kan, Ayah?"
Alisha memohon sambil memegang tangan ayah saya. Tiba-tiba kaki ayah saya lunglai. Dia berlutut didepan Alisha. Dia peluk lagi Alisha sambil bertanya, "Buat apa foto itu, nak?"
"Alisha ingin tunjukan kepada sama temen-temen Alisha di sekolah, ini foto ayah Alisha, ini ibu Alisha, ini kakak-kakak Alisha."
Ayah saya memeluk Alisha semakin erat, seolah tak mau berpisah dengan gadis kecil yang menjadi guru kehidupannya dihari itu.
Terimakasih, Alisha. Meski usiamu masih belia kau telah mengajarkan kepada kami tentang makna berbagi cinta.
Berbagilah cinta, maka kehidupan kita akan lebih bermakna. Berbagilah cinta agar orang lain merasakan keberadaan kita di dunia,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar